ceritanya mau bagi-bagi dan sedikit pamer sih... check this out!
Terbuka ... kelopak mataku
terbuka sekali lagi untuk mengizinkan retinaku menyaksikan satu hari
kehidupanku yang kering. Tubuhku terkapar lepas di atas kasurku... di dalam
bilikku... di dalam rumah kusamku. Ruangan ini tersorot oleh bayangan hitam
membasahi seluruh ruangan, hingga seakan bagiku aku ini buta. Hanya beberapa
lembar sinar matahari yang berani menyusup kemari, melewati sela-sela tirai
jendelaku.
Tak nafsu kupandangi mereka;
tak berani kubuka tirai itu; tak mau kubergerak dari posisi ini.
Sampai kudengar sebuah bunyi
mewah dari luar jendelaku yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Aku ingat
betul siapa pemilik bunyi itu. Tubuhku yang tadinya mati seakan telah
bereinkarnasi. Dengan ditopang sebuah harapan, aku bangkit dari kasurku yang
lusuh. Aku berjalan dalam hitam melewati setengah diameter bilik ini, mencari
sumber bunyi itu diarah jendela. Aku tarik setengah tirai jendelaku. Samar dan
pasti, aku pandang cahaya yang terlempar padaku.
Di dunia seberang jendelaku;
di dunia yang terhujani cahaya, seorang gadis mengenakan kaus biru dengan
cardigan maroon dan rok hitam pendek, bertukar kata dengan seorang lelaki yang
sedang duduk dalam sebuah mustang scarlet, dimana bunyi mewah tadi berasal.
Kutatap kosong mereka berdua.
“alangkah tak pantasnya”
pikirku melihat pria itu tersirami oleh senyum gadis itu.
Adeline-lah namanya, dan Eline
ku memanggilnya. Seorang teman, juga seorang sahabat dan juga seorang hawa yang
namanya telah terlukis di pusat hatiku; seseorang yang telah ku kenal sejak aku
mulai belajar membaca. Cukup lama untuk senyumnya meresap dan mengkontaminasi
pikiranku. Kami adalah sahabat, inginku lebih dari sekedar itu, kami telah
tinggal bersama semenjak kami memakai almamater yang sama. Ia adalah gadis
manja yang selalu kudampingi baik dalam keadaan kuning maupun biru. Seorang
gadis yang tak bisa apa-apa; selama hidupnya aku tak pernah melihatnya memasak;
ia tak terlalu pintar, lebih tepatnya ceroboh. Selama ini akulah yang
mengurusnya; memasak untuknya; mendaftarkannya ke perguruan tinggi;membiarkan
ia tinggal di rumah yang aku sewa; dan merawatnya ketika ia sakit. Aku pun
habis akal memikirkan alasan mengapa aku bisa menyukainya. Well, ada yang
bilang cinta itu buta.
Pria itu pergi; Eline
mengantarkannya dengan lambaian tangannya yang lembut dan senyuman indah yang
selalu kuidamkan.
“cklak” suara pintu terbuka,
aku tahu itu dia.
Akhirnya ia pulang dari gubuk
emas kekasihnya dan kembali kemari...vila jeramiku. Suara langkah mungilnya
yang menelusuri lorong terdengar berkilau di telingaku, oh.. aku suka suara
itu.
Aku berkaca merapihkan
rambutku, lalu keluar dari persembunyianku.
Lorong rumah ini telah
kosong. Pastinya ia telah masuk ke dalam biliknya yang nyaman. Tapi wangi
parfum yang ia kenakan masih mengembara di sana.
Aku tiba di dapurku yang
sederhana. Menyiapkan sepasang cangkir, sebuah teko dan beberapa piring, aku akan
membuatkannya sarapan. Pastinya ia lapar serelah bermalam bersama kekasihnya.
Terdengar suara buliran-buliran air dari dalam kamar Eline.
“ia pasti sedang mandi”
gumamku saat menyiapkan waffle.
Terbayang dalam mataku
dirinya seusai membersihkan diri. mengenakan gaun tidur berwarna tosqa; rambut
basahnya pasti terlihat menawan; dan wangi shampo dan sabun yang ia pakai akan
memenuhi biliknya. Aku tak sabar menemuinya.
Suara keran yang ditutup
terlintas di daun telingaku, ia telah selesai, begitu pula aku. Kubuka sebuah
botol kecil yang kuambil tepat berdampingan dengan gula, dan kutuangkan cairan
putih di dalamnya pada kedua cangkir berisi teh panas sebagai pelengkap. Segera
kutaruh dua cangkir itu di atas nampan bersama menu sarapan yang berdiri di
atasnya.
Tibalah aku di depan pintu
biliknya. Tak ada suara terdengar. Pikirku ia pasti tertidur. Namun intuisiku
berkata lain.
“ia sedang menangis”
Dan aku lebih percaya pada
intuisiku.
Kubuka sedikit celah pintunya
dan kutatap ia seisi ruangan itu.
Benar! Ia menangis. Menangis
di atas ranjang putihnya; di bawah kelambu merahnya.
“aku tahu apa yang kau
tangisi” benakku berkata.
Si brengsek itu! ...ya, yang
kumaksud adalah kekasihnya. Sudah berulang-ulang kau menangisinya. Tapi lelah
sudah aku katakan padamu; ingatkan kamu. Ada wanita lain di sisinya,
teman-temanmu tahu; aku tahu; bahkan kau
pun tahu kalau aku benar. Tapi setiap kali aku berkata tajam tentang dirinya,
kau marah.
“ia bukan orang seperti yang
kau pikirkan” tegasmu padaku.
Mendengarmu berkata begitu
membuatku tak berdaya, sehingga aku mundur dan berkata:
“maaf. Aku yang salah sangka”
...... lihat? Aku berbohong demi dirimu.
Orang bilang cinta itu buta.
Ya! Kau telah buta karenanya.
Tak dapatkah kau lihat ada
aku yang selalu ada di depanmu; aku yang selalu merawatmu; aku yang selalu
mencintamu.
Apa yang ada pada dirinya dan
tidak padaku?
Apa yang kau lihat darinya
dan tidak padaku?
Siapa yang selalu menjagamu
dan siapa yang selalu menyakitimu?
Putuslah dengan dia!
Kini kau selalu menangisi
dirimu yang menyedihkan; dirimu yang tak bisa meninggalkan dirinya. Kau terlalu
mencintainya.
Aku benci dirimu yang tak
mengerti aku.
Aku benci semua penantian
ini.
Ingin aku pergi, tapi aku
benci untuk pergi sendiri.
...
Perlahan aku buka pintu
biliknya.
“hai” sapaku.
Ia menatapku. Matanya basah
memerah; garis-garis tangis menghias pipinya; rambutnya basah berantakan,
tampaknya ia belum sempat menyisirnya. Bibirnya yang kaku memaksa untuk
menjawab sapaan kecilku
“hai.”
Kupijak lantai biliknya, dan
meletakkan nampan penuh dengan menu sarapan di atas sebuah meja kayu.
Kamarnya seperti biasa,
kontras dengan milikku, berwarna putih berhias perabotan klasik dengan tiga
jendela dan di terangi sebuah hiasan lampu yang berkilau.
Dengan lembut aku ayunkan
tangan mengisyaratkan ia untuk datang kemari dan menyantap sarapan yang kubuat.
Ia menggelengkan kepalanya.
Seperti biasa, ia manja, menungguku menjemputnya dan menariknya kemari. Ya, aku
memang berniat begitu.
Aku berjalan pelan
mendekatinya yang masih menangis. Ia tak malu menunjukkan air matanya padaku.
Entah sudah berapa banyak air mata yang kau habiskan untuknya. Melihatmu
menangisinya di depanku semakin membuat mentalku tercabik.
Kutarik tangan halusnya pelan
dan kutempatkan ia duduk di sofa antik dimana sarapan yang kubuat terhidang di
depannya.
Ia mulai menyantap mereka
(sarapannya), hatiku sedikit dingin.
Aku duduk erat di sampingnya.
Kuambil sisir dari sakuku dan mulai merapihkan rambut basahnya yang berantakan.
Aku satukan semua ujung rambutnya dan menyisirny secara berulang dari atas
menuju bagian bawah. Kuletakkan mereka di atas bahu kiri Eline, membuat leher
mungilnya terlihat olehku.
Kulitnya yang basah, lehernya
yang putih dan tulang selangkanya yang seksi membuatku tergoda.
Semua hidanganku telah habis
disantapnya. Tersisa hanya sepasang cangkir antik berisi teh Adas.
Ia tampak kelelahan; ia
bersandar di pundakku.
“bagaimana malammu?” ucapku
mencairkan suasana.
“seperti biasa...
menyenangkan... juga menyedihkan”
“ya, aku tak menyalahkanmu.
Mengingat pria itu adalah kekasihmu”
“jangan mulai berdebat
denganku” nada suaranya sedikit naik.
“maaf” kataku polos.
Suasana kembali mendingin.
“ngomong-ngomong waffle yang
kau buat, tumben rasanya menakjubkan” katanya lemas.
“ya, karena menu sarapan kali
ini spesial.”
“spesial?”
Aku tak menjawabnya.
Kuambil sepasang cangkir di
hadapanku dan kuberikan kepadanya sebuah.
“terima kasih” katanya.
Kami berdua bersulang dan
minum bersama, teguk demi teguk.
“enak” pujinya.
“terima kasih” balasku,
mengambil cangkirnya dan meletakkan semuanya kembali di atas meja.
Suasana kembali mendingin.
Kami diam tak bersuara. Bagai
sepasang kekasih kami saling bersandar, menikmati pagi bersama, jarang
kulakukan ini dengannya.
Tiba-tiba tangis Eline
kembali meledak. Lebih keras dari yang ia lakukan sebelumnya.
Aku peluk dirinya, berharap
itu bisa menenangkannya.
“aku tak tahan lagi” katanya
dalam isak tangis.
“ada apa?” tanyaku.
“kini aku merasa menjadi
wanita paling bodoh di dunia. Ia telah terang-terangan mendua di hadapanku dan
bodohnya aku membiarkannya. Kenapa aku tak bisa menamparnya , melupakannya,
meninggalkannya” suara isak tangisnya memberat.
“kalau begitu lepaskan dia”
“aku tak bisa! Aku tak mau!
Begini lebih baik daripada harus kehilangannya... tapi aku sudah tak tahan
lagi”
Aku terdiam, memeluknya lebih
erat dari sebelumnya.
“kalau begitu, maukah kau
mati bersamaku?” bisikku spontan.
Tangisnya berhenti. Ia
menatapku bingung dengan matanya yang basah.
“UHUK!!” semburan darah
keluar dari dalam tenggorokan Eline.
Dengan sigap aku mengambil
sapu tangan di saku bajuku dan mengusap mulut Eline yang tersiram darahnya
sendiri.
Aku mengusap rambutnya. Dan
bagaikan seorang kekasih yang memiliki dosa kepada gadisnya aku berkata
“maaf, tapi aku telah menaruh
racun di dalam teh kita.”
Matanya memandang ke arahku,
retinanya tak bergerak. Ragaku telah siap dengan tamparan, cabikan bahkan jika
ia menghunuskan silet ke dalam tenggorokanku. Jiwaku sudah siap menerima
serapah dan caciannya.
“terima kasih” ucapnya tetiba
dengan lembut mulutnya tersenyum padaku.
Aku diam; aku bingung.
Kupandangi seluruh permukaan wajah dan matanya mencari maksud dari perkataanya
barusan, well, tak ada petunjuk.
“sejak dulu aku selalu ingin
melakukannya. Tapi ketakutanku selalu dapat mengikat niatku.
Hehe..
Seakan kau bisa membaca
pikiranku. Ya! Kau selalu bisa mengerti aku; merawatku; dan mencintaiku.
Terima kasih!”
Kelopak matanya dengan anggun
menutup; bibirnya yang berhias darah tersenyum padaku. Sungguh pemandangan yang
membuatku bahagia.
Ia pun mati dalam pelukanku.
Tak perlu waktu lama,
jantungku mulai terguncang. Darah segar keluar dari mulutku. Membasahi pipi gadis yang kucintai. Kuseka wajah
tersenyumnya. Tak ingin aku melihat wajahnya ternodai darahku.
Sejenak terlintas bayangan
masa-masaku bersamanya.
Sekali lagi darah keluar dari
dalam tenggorokanku.
Kugenggam tangan Eline dengan
lembut dan menyanyikan lagu I Wanna be
with You milik Mandy Moore sebagai lagu pengantar kematian kami berdua.