Jumat, 09 November 2012

(Cerpen) Adeline

ini hasil karya gue (terpaksa, karena ini adalah tugas kuliah)...
ceritanya mau bagi-bagi dan sedikit pamer sih... check this out!


Terbuka ... kelopak mataku terbuka sekali lagi untuk mengizinkan retinaku menyaksikan satu hari kehidupanku yang kering. Tubuhku terkapar lepas di atas kasurku... di dalam bilikku... di dalam rumah kusamku. Ruangan ini tersorot oleh bayangan hitam membasahi seluruh ruangan, hingga seakan bagiku aku ini buta. Hanya beberapa lembar sinar matahari yang berani menyusup kemari, melewati sela-sela tirai jendelaku.
Tak nafsu kupandangi mereka; tak berani kubuka tirai itu; tak mau kubergerak dari posisi ini.
Sampai kudengar sebuah bunyi mewah dari luar jendelaku yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Aku ingat betul siapa pemilik bunyi itu. Tubuhku yang tadinya mati seakan telah bereinkarnasi. Dengan ditopang sebuah harapan, aku bangkit dari kasurku yang lusuh. Aku berjalan dalam hitam melewati setengah diameter bilik ini, mencari sumber bunyi itu diarah jendela. Aku tarik setengah tirai jendelaku. Samar dan pasti, aku pandang cahaya yang terlempar padaku.
Di dunia seberang jendelaku; di dunia yang terhujani cahaya, seorang gadis mengenakan kaus biru dengan cardigan maroon dan rok hitam pendek, bertukar kata dengan seorang lelaki yang sedang duduk dalam sebuah mustang scarlet, dimana bunyi mewah tadi berasal.
Kutatap kosong mereka berdua.
“alangkah tak pantasnya” pikirku melihat pria itu tersirami oleh senyum gadis itu.
Adeline-lah namanya, dan Eline ku memanggilnya. Seorang teman, juga seorang sahabat dan juga seorang hawa yang namanya telah terlukis di pusat hatiku; seseorang yang telah ku kenal sejak aku mulai belajar membaca. Cukup lama untuk senyumnya meresap dan mengkontaminasi pikiranku. Kami adalah sahabat, inginku lebih dari sekedar itu, kami telah tinggal bersama semenjak kami memakai almamater yang sama. Ia adalah gadis manja yang selalu kudampingi baik dalam keadaan kuning maupun biru. Seorang gadis yang tak bisa apa-apa; selama hidupnya aku tak pernah melihatnya memasak; ia tak terlalu pintar, lebih tepatnya ceroboh. Selama ini akulah yang mengurusnya; memasak untuknya; mendaftarkannya ke perguruan tinggi;membiarkan ia tinggal di rumah yang aku sewa; dan merawatnya ketika ia sakit. Aku pun habis akal memikirkan alasan mengapa aku bisa menyukainya. Well, ada yang bilang cinta itu buta.
Pria itu pergi; Eline mengantarkannya dengan lambaian tangannya yang lembut dan senyuman indah yang selalu kuidamkan.
“cklak” suara pintu terbuka, aku tahu itu dia.
Akhirnya ia pulang dari gubuk emas kekasihnya dan kembali kemari...vila jeramiku. Suara langkah mungilnya yang menelusuri lorong terdengar berkilau di telingaku, oh.. aku suka suara itu.
Aku berkaca merapihkan rambutku, lalu keluar dari persembunyianku.
Lorong rumah ini telah kosong. Pastinya ia telah masuk ke dalam biliknya yang nyaman. Tapi wangi parfum yang ia kenakan masih mengembara di sana.
Aku tiba di dapurku yang sederhana. Menyiapkan sepasang cangkir, sebuah teko dan beberapa piring, aku akan membuatkannya sarapan. Pastinya ia lapar serelah bermalam bersama kekasihnya. Terdengar suara buliran-buliran air dari dalam kamar Eline.
“ia pasti sedang mandi” gumamku saat menyiapkan waffle.
Terbayang dalam mataku dirinya seusai membersihkan diri. mengenakan gaun tidur berwarna tosqa; rambut basahnya pasti terlihat menawan; dan wangi shampo dan sabun yang ia pakai akan memenuhi biliknya. Aku tak sabar menemuinya.
Suara keran yang ditutup terlintas di daun telingaku, ia telah selesai, begitu pula aku. Kubuka sebuah botol kecil yang kuambil tepat berdampingan dengan gula, dan kutuangkan cairan putih di dalamnya pada kedua cangkir berisi teh panas sebagai pelengkap. Segera kutaruh dua cangkir itu di atas nampan bersama menu sarapan yang berdiri di atasnya.
Tibalah aku di depan pintu biliknya. Tak ada suara terdengar. Pikirku ia pasti tertidur. Namun intuisiku berkata lain.
“ia sedang menangis”
Dan aku lebih percaya pada intuisiku.
Kubuka sedikit celah pintunya dan kutatap ia seisi ruangan itu.
Benar! Ia menangis. Menangis di atas ranjang putihnya; di bawah kelambu merahnya.
“aku tahu apa yang kau tangisi” benakku berkata.
Si brengsek itu! ...ya, yang kumaksud adalah kekasihnya. Sudah berulang-ulang kau menangisinya. Tapi lelah sudah aku katakan padamu; ingatkan kamu. Ada wanita lain di sisinya, teman-temanmu tahu;  aku tahu; bahkan kau pun tahu kalau aku benar. Tapi setiap kali aku berkata tajam tentang dirinya, kau marah.
“ia bukan orang seperti yang kau pikirkan” tegasmu padaku.
Mendengarmu berkata begitu membuatku tak berdaya, sehingga aku mundur dan berkata:
“maaf. Aku yang salah sangka”
......  lihat? Aku berbohong demi dirimu.
Orang bilang cinta itu buta. Ya! Kau telah buta karenanya.
Tak dapatkah kau lihat ada aku yang selalu ada di depanmu; aku yang selalu merawatmu; aku yang selalu mencintamu.
Apa yang ada pada dirinya dan tidak padaku?
Apa yang kau lihat darinya dan tidak padaku?
Siapa yang selalu menjagamu dan siapa yang selalu menyakitimu?
Putuslah dengan dia!
Kini kau selalu menangisi dirimu yang menyedihkan; dirimu yang tak bisa meninggalkan dirinya. Kau terlalu mencintainya.
Aku benci dirimu yang tak mengerti aku.
Aku benci semua penantian ini.
Ingin aku pergi, tapi aku benci untuk pergi sendiri.
...
Perlahan aku buka pintu biliknya.
“hai” sapaku.
Ia menatapku. Matanya basah memerah; garis-garis tangis menghias pipinya; rambutnya basah berantakan, tampaknya ia belum sempat menyisirnya. Bibirnya yang kaku memaksa untuk menjawab sapaan kecilku
“hai.”
Kupijak lantai biliknya, dan meletakkan nampan penuh dengan menu sarapan di atas sebuah meja kayu.
Kamarnya seperti biasa, kontras dengan milikku, berwarna putih berhias perabotan klasik dengan tiga jendela dan di terangi sebuah hiasan lampu yang berkilau.
Dengan lembut aku ayunkan tangan mengisyaratkan ia untuk datang kemari dan menyantap sarapan yang kubuat.
Ia menggelengkan kepalanya. Seperti biasa, ia manja, menungguku menjemputnya dan menariknya kemari. Ya, aku memang berniat begitu.
Aku berjalan pelan mendekatinya yang masih menangis. Ia tak malu menunjukkan air matanya padaku. Entah sudah berapa banyak air mata yang kau habiskan untuknya. Melihatmu menangisinya di depanku semakin membuat mentalku tercabik.
Kutarik tangan halusnya pelan dan kutempatkan ia duduk di sofa antik dimana sarapan yang kubuat terhidang di depannya.
Ia mulai menyantap mereka (sarapannya), hatiku sedikit dingin.
Aku duduk erat di sampingnya. Kuambil sisir dari sakuku dan mulai merapihkan rambut basahnya yang berantakan. Aku satukan semua ujung rambutnya dan menyisirny secara berulang dari atas menuju bagian bawah. Kuletakkan mereka di atas bahu kiri Eline, membuat leher mungilnya terlihat olehku.
Kulitnya yang basah, lehernya yang putih dan tulang selangkanya yang seksi membuatku tergoda.
Semua hidanganku telah habis disantapnya. Tersisa hanya sepasang cangkir antik  berisi teh Adas.
Ia tampak kelelahan; ia bersandar di pundakku.
“bagaimana malammu?” ucapku mencairkan suasana.
“seperti biasa... menyenangkan... juga menyedihkan”
“ya, aku tak menyalahkanmu. Mengingat pria itu adalah kekasihmu”
“jangan mulai berdebat denganku” nada suaranya sedikit naik.
“maaf” kataku polos.
Suasana kembali mendingin.
“ngomong-ngomong waffle yang kau buat, tumben rasanya menakjubkan” katanya lemas.
“ya, karena menu sarapan kali ini spesial.”
“spesial?”
Aku tak menjawabnya.
Kuambil sepasang cangkir di hadapanku dan kuberikan kepadanya sebuah.
“terima kasih” katanya.
Kami berdua bersulang dan minum bersama, teguk demi teguk.
“enak” pujinya.
“terima kasih” balasku, mengambil cangkirnya dan meletakkan semuanya kembali di atas meja.
Suasana kembali mendingin.
Kami diam tak bersuara. Bagai sepasang kekasih kami saling bersandar, menikmati pagi bersama, jarang kulakukan ini dengannya.
Tiba-tiba tangis Eline kembali meledak. Lebih keras dari yang ia lakukan sebelumnya.
Aku peluk dirinya, berharap itu bisa menenangkannya.
“aku tak tahan lagi” katanya dalam isak tangis.
“ada apa?” tanyaku.
“kini aku merasa menjadi wanita paling bodoh di dunia. Ia telah terang-terangan mendua di hadapanku dan bodohnya aku membiarkannya. Kenapa aku tak bisa menamparnya , melupakannya, meninggalkannya” suara isak tangisnya memberat.
“kalau begitu lepaskan dia”
“aku tak bisa! Aku tak mau! Begini lebih baik daripada harus kehilangannya... tapi aku sudah tak tahan lagi”
Aku terdiam, memeluknya lebih erat dari sebelumnya.
“kalau begitu, maukah kau mati bersamaku?” bisikku spontan.
Tangisnya berhenti. Ia menatapku bingung dengan matanya yang basah.
“UHUK!!” semburan darah keluar dari dalam tenggorokan Eline.
Dengan sigap aku mengambil sapu tangan di saku bajuku dan mengusap mulut Eline yang tersiram darahnya sendiri.
Aku mengusap rambutnya. Dan bagaikan seorang kekasih yang memiliki dosa kepada gadisnya aku berkata
“maaf, tapi aku telah menaruh racun di dalam teh kita.”
Matanya memandang ke arahku, retinanya tak bergerak. Ragaku telah siap dengan tamparan, cabikan bahkan jika ia menghunuskan silet ke dalam tenggorokanku. Jiwaku sudah siap menerima serapah dan caciannya.
“terima kasih” ucapnya tetiba dengan lembut mulutnya tersenyum padaku.
Aku diam; aku bingung. Kupandangi seluruh permukaan wajah dan matanya mencari maksud dari perkataanya barusan, well, tak ada petunjuk.
“sejak dulu aku selalu ingin melakukannya. Tapi ketakutanku selalu dapat mengikat niatku.
Hehe..
Seakan kau bisa membaca pikiranku. Ya! Kau selalu bisa mengerti aku; merawatku; dan mencintaiku.
Terima kasih!”
Kelopak matanya dengan anggun menutup; bibirnya yang berhias darah tersenyum padaku. Sungguh pemandangan yang membuatku bahagia.
Ia pun mati dalam pelukanku.
Tak perlu waktu lama, jantungku mulai terguncang. Darah segar keluar dari mulutku. Membasahi  pipi gadis yang kucintai. Kuseka wajah tersenyumnya. Tak ingin aku melihat wajahnya ternodai darahku.
Sejenak terlintas bayangan masa-masaku bersamanya.
Sekali lagi darah keluar dari dalam tenggorokanku.
Kugenggam tangan Eline dengan lembut dan menyanyikan lagu I Wanna be with You milik Mandy Moore sebagai lagu pengantar kematian kami berdua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar